Chrome Pointer

Selasa, 24 September 2013

IJTIHAD



 A. Pengertian Ijtihad 

 Dari segi bahasa “ ijtihad” berasal dari kata jahada yang berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata” ijtihad” dipakai mengikuti wazan ifti’al yang berarti “bersangkutan dalam pekerjaan” oleh sebab itu kata “ijtihad” berarti
mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbuatan.
 Ijtihad” artinya berusaha keras atau bersungguh-sungguh. Sedangkan menurut istilah artinya berusaha sungguh-sungguh untuk merumuskan, memecahkan, dan menetapkan hukum atau suatu masalah yang tidak ditemukan atau belum ada ketetapannya. Baik dalam Al-qur’an maupun hadist dengan menggunakan akal fikiran yang sehat dan jernih.
 Ulama ushuliyyin mengartikan “ijtihad” dengan usaha mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan intelektual dalam mengistinbatkan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
 atau seperti yang dirumuskan oleh Abdul Al-wahab Al kallaf yaitu mencurahkan kesanggupan yang prima untuk menghasilkan hukum syar’i yang berpedoman dari dalil tafsili. Pada prinsipnya, “ijtihad” adalah manivestasi pemikiran kefilsafatan oleh sebab itu, “ijtihad” merupakan kerja akal yang memperoleh bimbingan syara’sehingga hasil ijtihad itu merupakan bagian dari hasil kerja akal manusia.
 Menurut para ahli , akal adalah asasnya ijtihad terutama , bidang-bidang yang tidak ada nashnya. Namun itu tidak berarti bahwa akal bisa bekerja atas dasar kemauan dengan cara-cara sendiri tanpa melalui metodologi tertentu. Proses kerja ijtihad menggunakan pemikiran dengan metodologi yang benar dibawah bimbingan syara’ dan menghindarkan dari bisikan-bisikan hawa nafsu.

 B. Peluang Ijtihad 

 Apabila kasus yang hendak diketahui hukumnya telah ada dalil yang sharih dan qath’i dari segi sumbernya dan pengertiannya yang menujukkan atsa hukum syar’inya. Maka hendak ada peluang untuk berijtihad di dalamnya. Yang wajib adalah melaksanakan pengertian yang di tunjuki nash tersebut. Sebab sepanjang dalil itu qath’i kedatangannya dan keluarnya dari allah dan rasulnya bukanlah tempat suatu pembahasan dan pencurahan jeri payah dan sepanjang dalil itu dalalahnya qath’i maka dalalahnya terhadap maknanya dan pengambilan hukum dari nash itu. Bukanlah tempat suatu pembahasan dan ijtihad. Dan tidak ada peluang untuk berijtihad dalam kasus kasus yang menerapkannya. . 
 Contoh : Dalam firman Allah SWT : • •  •     ....  
 Artinya : Wanita yang berjina dan laki-laki yang berjina maka deralah tiap tiap orang dari keduanya seratus kali dera....( Q.S. An-Nur. 2)
 Maka dalam hal jumlah deraan tidak ada peluang untuk ijtihad. Karena ayat ini secara pasti menunjukan bahwa had zinah adalah seratus kali deraan. dan juga seperti dalam firman Allah SWT :            
 Artinya: Dan bagimu suami suami seperdua dari harta yang di tingggalkan oleh istri-istri kamu jika merasa tidak mempunyai anak. (Q,S An Nissa. 12 )
 Ayat ini adalah qath’i dalalahnya bahwa bagian suami dalam kondisi sseperti ini adalah seperdua tidak bisa lainnya. Maka tidak ada peluang bagi ijtihad untuk mengetahui maksud dari pada salah satu dari keduanya jadi sepanjang nashnya tersebut jelas di tafsirkan dengan siqathnya atau dengan sesuatu penjelasan yang di susulkan oleh syar’i maka tidak ada peluang untuk berijtihad mengenainya. 
Adapun apabila sesuatu kejadian atau kasus yang hendak diketahui ukurannya telah ada dalil nashnya yang kedatangannya bersifat zhanni dan dalalahnya juga zhonni atau salah satu dari keduanya zhonni, maka ada peluang ijtihad padanya.
 Contoh 1 :
 Misalnya dalam firman allah swt :       “ wanita-wanita yang ditolak hendaklah menahan diri selama tiga kali quru’...”(Qs.Al-baqarah : 228) Lafazh “Quri”dalam bahasa arab merupakan lafadz yang mempunyai dua makna ia diartikan “suci”dan juga menurut bahasa yaitu”haidh.” Oleh karena itu, maka ada kemungkinan bahwa yang dimaksud tiga kali suci dan ada kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah tiga kali haidh. Oleh karena itu lafaz ini tidaklah qath’i dalalahnya terhadap salah satu dari kedua makna itu.
 Contoh 2 :           .. 
 “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah…”(QS. Al-Maidah:38). 
Umar bin Khattab tidak memberlakukan hukuman potong tangan terhadap pencuri di musim paceklik pada masa kepemimpinannya. Inti dari beberapa peristiwa pencurian yang terjadi pada masa paceklik tersebut adalah keterpaksaan mempertahankan hidup. Bahwa menjaga jiwa (hidup) lebih dikedepankan dan diprioritaskan daripada menjaga harta. Dan ijtihad Umar ini bukan berarti melanggar nash al-Qur’an. Karena seorang pencuri yang harus dipotong tangannya adalah telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Diantaranya harta yang dicuri sampai pada batas tertentu, dalam kondisi normal, mengganggu hak orang lain dan stabilitas sosial serta adanya saksi atau pengaduan atau keberatan dari pihak yang dirugikan. Dan bukan berarti pula bahwa ijtihad Umar tanpa sandaran nash. Allah sendiri memerintah untuk tidak menjerumuskan diri kita pada kebinasaan, diperbolehkannya memakan bangkai bila sangat terpaksa, juga riwayat shahih dari Makhul yang menjelaskan sabda Rasul saw. “Tak ada potong (tangan) di musim paceklik yang sangat”. 
Contoh 3 : Ada dua orang yang sedang berselisih. Lalu kedua orang tadi pergi menghadap Rasulullah saw meminta pengadilan. Rasulullah saw pun menyelesaikan perselisihan kedua orang tadi. Namun salah seorang dari mereka merasa kurang puas terhadap keputusan Rasulullah, kemudian ia mengatakan kepada lawannya: “Kalau begitu kita adukan ke Umar.” Kedua orang tadi menghadap ke Umar dan menceritakan permasalahannya. Seusai mendengarkan masalahnya, Umar bangkit dari tempat duduknya sambil mengatakan: “Diamlah kalian di tempat.” Umar masuk untuk mengambil pedangnya, kemudian keluar dan langsung mengayunkannya ke arah orang yang tidak puas tadi hingga akhirnya orang itu mati. Kemudian peristiwa itu diberitahukan kepada Rasulullah saw. Beliau pun bersabda: “Saya kira tidak mungkin Umar memberanikan diri untuk membunuh seorang mukmin.” Kemudian menurunkan ayat dalam surat An-Nisaa’ ayat 65 sebagai pernyataan untuk mengokohkan kebenaran pendapat Umar.
                    
 “Maka demi Tuhanmu mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisa’: 65) .
 Rasulullah pun menghalalkan darah orang yang terbunuh itu dan Umar terbebas dari segala sanksi hukum. Dalam hal ini Umar beranggapan bahwa perbuatan orang yang dibunuhnya menyebabkannya halal dibunuh.
 Demikian pula apabila suatu kejadian tidak ada nash hukumnya sama sekali maka dalam khusus itu terdapat peluang yang luas untuk berijtihad. Sebab mujtahid harus mengadakan pembahasan agar ia dapat sampai pengetahuan hukumnya.
 Pada materi 29 dari lembaran struktur mahkamah ahliyah (mesin) disebutkan bahwasannya jika tidak ditemukan nash yang jelas dalam undang-undang maka sepanjang dalam undang-undang terdapat nash yang jelas, maka nash itu sajalah yang dipergunakan untuk memutuskan.
 Contoh: Antaranya adalah fatwa yang dikeluarkan oleh Majlis Fatwa Kebangsaan Kuwait pada 29 September 1984 tentang masalah pengguguran kandungan. Dalam fatwa tersebut, di samping penapisan dan pentarjihan ke atas pandangan ahli-ahli fiqh, ditambahkan juga dengan unsur ijtihad insya’i yang merupakan tuntutan kemajuan ilmu perobatan modern. Menurut fatwa tersebut, doktor adalah dilarang melakukan pengguguran ke atas kandungan yang berusia 120 hari, kecuali untuk menyelamatkan nyawa si hamil. Kandungan yang berusia kurang daripada 40 hari, dibolehkan dengan persetujuan suami isteri. Sementara kandungan yang berusia 40 hari dan belum mencapai 120 hari tidak boleh digugurkan, kecuali dalam dua keadaan, iaitu jika kandungan tersebut akan membahayakan keselamatan ibu dan jika janin yang akan lahir itu mengalami kecacatan fizikal atau mental yang tidak mungkin dapat dipulihkan. Pengguguran mesti dilakukan di hospital dan bukan pada kandungan yang telah berusia 40 hari, kecuali dengan ketetapan sekurang-kurangnya dua orang doktor pakar. Salah seorang daripadanya adalah pakar kanak-kanak dan wanita serta dua orang selain mereka yang dijamin kejujurannya. 

C. Syarat-Syarat Mujtahid 

Setelah menjelaskan sesuatu yang menjadi lapangan bagi ijtihad , dan sesuatu yang bukan lapangan bagi ijtihad, maka kami akan menjelaskan siapakah orang yang layak berijtihad.
 1. Mempunyai pengetahuan mengenai Al qur’an, maksudnya haruslah mengetahui makna-makna yang di kandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al qur’an baik secara bahasa maupun istilah syariat.
 2. Mengetahui tentang hadits-hadits, yaitu harus mengetahui hukum-hukum syara’ yang disebut oleh sunnah nabi saw , sekiranya ia mampu menghadirkan hadist yang menyebutkan hukum pada tiap-tiap bab dari perbuatan mukallaf , mengetahui peringkat sanad hadist tersebut dari segi keshahihannya, atau peringkat sanad hadist tersebut.
 3. Mengetahui bahasa arab, serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya. Pengetahuan ini dibutuhkan mengingat alquran dan hadist adalah bahasa arab. seseorang tidak bisa mengistibatkan hukum dari dua sumber tersebut tanpa mengetahui seluk beluk bahasa arab.
 4. Mengetahui tentang nasakh dan mansukh baik alquran maupun hadist pengetahuan seperti ini diperlukan agar seorang mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari ayat atau hadist yang sudah dinyatakan tidak lagi berlaku.
 5. Mengetahui tentang qiyas seperti syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, mengetahui tentang illat hukum dan cara menentukan illat itu dari ayat atau hadist, dan mengetahui kemaslahatan yang dikandung oleh suatu hukum dan prinsip-prinsip hukum syariat islam. 
6. Mengetahui soal-soal ijma’ sehingga tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan ijma’. pengetahuan ini diperlukan agar seorang mujtahid ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah disepakati para ulama. 
7. Menguasai ilmu usul fiqih dan harus kuat dalam ilmu ini, karena ilmu ushul fiqih menjadi dasar pokok ijtihad. Hendaklah mujtahid menyelidiki persoalan-persoalan ilmu ushul fiqih sehingga sampai kepada kebenaran.

 D. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid 

 Abu Zahra membagi mujtahid kepada beberapa tingkat , yaitu mujtahid mustaqil , mujtahid muntasib , mujtahid fi’al mahzab , dan mujtahid fi’at at-tarjih.
 a. Mujtahid mustaqil adalah tingkat tertinggi , yang mempunyai syarat-syarat ijtihad dan memberikan fatwa dalam segala hukum dengan tidak terikat oleh suatu mazhab dan mereka sendiri lah yang menerapkan metode istinbath dalam berijtihad untuk membentuk fiqih.
 b. Mujtahid muntasib adalah orang yang mempunyai syarat-syarat ijtihad tetapi menggabungkan dirinya kepada sesuatu mazhab , mengikuti jalan-jalan yang telah di tetapkan oleh imam mazhab tersebut dalam berijtihad.
 c. Mujtahid fi’al mazhab adalah tingkat mujtahid yang dalam ushul fiqih bertalid kepada imam mujtahid tertentu. Mereka di sebut mujtahid karena mereka berijtihad dalam mengistinbatkan hukum pada permasalahan-permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku-buku majhab imam mujtahid yang menjadi panutannya. 
d. Mujtahid fiat-tarjih adalah mujtahid yang kegiatannya bukan mengistinbatkan hukum tetapi terbatas memperbandingkan berbagai majhab atau pendapat. Dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat yang terkuat dari pendapat-pendapat yang ada. 

 E. Bentuk-Bentuk Ijtihad 

 Untuk melakukan ijtihad haruslah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan imaniyah. Maksudnya harus menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan , untuk itu sebagaimana yang telah disebutkan diatas dan harus berlandaskan iman dan mohon petunjuk Allah untuk menemukan kebenaran semata-mata jauh dari keuntungan pribadi dan golongan. Adapun ijtihad itu dilakukan dalam bermacam-macam antara lain : a) Ijma’ yaitu kesepakatan para alim ulama atau (mujtahid) untuk mentapkan hukum pada suatu masa setelah Rasul Saw wafat atas hukum syarah mengenai suatu kejadian.
 Contohnya : usaha pembukaan Al-qur’an pada masa khalifah abu bakar atas inisiatif dan usulan Umar bin khattab. 
b) Qiyas yaitu menetapkan hukum suatu perbuatan / masalah yang belum disebutkan secara kongrit dalam Al-qur’an dan hadist dengan cara menyamakan hukumnya perbuatan / masalah lain yang sudah di sebutkan dalam Al-Quran dan Hadist karena keduanyan memiliki kesamaan sifat. Contohnya : mengharamkan minuman keras seperti Bir dan wiski 
c) Istihsan yaitu menetapkan hukum suatu perbuatan yang tidak di jelaskan secara konkrit dalam Al-quran dan hadits yang di dasarkan atas kepentingan umum. Kemaslahatan umum atau untukn kepentingan keadilan. Contohnya : Jakat seluruh harta tanpa niat 
d) Istishab yaitu istilah dalam ushul fiqih yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah dan di tetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut. Contohnya : orang yang telah berwudhu laluia ragu apakah sudah batal atau belum padahal tidak ada sesuatu yang meyakinkan bahwa wudhunya telah batal. Kemudian ia menetapkan hukum dengan menyakini bahwa ia masih tetap mempunyai wudhu.
 e) Masalah mursalah yaitu mempertahankan sesuatu yang telah diputuskan atas kehendak syara dengan maksud untuk menolak dan menghindarkan dari timbulnya kerusakan. Contohnya : setelah suatu kelompok menetapkan seorang pemimpin atau ketua lalu di kemudian hari di ketahui ada yang lebih pantas menduduki posisi itu tetapi jika pemimpin terpilih di ganti akan timbul keonaran dan perusakan. Maka hendaklah membiarkan jabatan itu di pegang hingga masa jabatannya berakhir dengan pertimbangan. 
f) Al-Urf yaitu sesuatu yang telah di kenal oleh masyarakat yang merupakan kebiasaan di kalangan mereka, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama menyatakanpengertian urf dengan adat. Contohnya : perkataan walad yang menurut bahasa sehari hari di artikan khusus bagi anak laki laki. 

 F. Macam- Macam Ijtihad 

 Ijtihad di lihat dari segi jumlah pelakunya atau segi orang yang melakukan ijtihad dapat di bedakan menjadi dua : 
 a. Ijtihad Fardhi yaitu menurut Al-Thoyib al-syaid yang di maksud dengan ijtihad fardi adalah sesuatu usha atau ijtihad penggalian suatu hukumn yangdi lakukan oleh mujtahid dengan cara individual atau hanya bebebrapa oarang dengan bersumbur pada Al-qur’an Dan Hadits sebagai sumbernya.Misalnya ijtihad yang di lakukan oleh oara imam Mujtahid besar : Imam Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Ahmad Hambal. 

b. Ijtihad jamai yaitu ijtihad yang di lakukan secara berjamaah tentang suatu hukum atau merupakan kegiatan yang ijtihad yang melibatkan berbagai disiplin ilmu di samping ilmu fiqih itu sendiri sesuai denagan permasalahan yang akan di bahas. 

 G. Tiga Hal Yang Di Perhatikan Dalam Ijtihad 

1. Bahwasanya ijtihad tidaklah terbagi bagi. Artinya tidak terbayang ada sseorang yang pandai menjadi mujtahid dalam hukum perceraian dan bukan mujtahid dalam hukum pidana, namun bukan mujtahid dalam hukum ibadah. Sebab sebaagai mana telkah kami kemukakan bahwa sanya ijtihad merupakan ahliyah dan kemampuan yang di miliki oleh seoarang mujtahid dalam memahami nash nash dan memetik hukum syariyah dari nash nash itu, dan mengistibatkan hukum dalam kassusu yang tiadak ada nashnya.
 2. Bahwasanya seorang mujtahid mendapat pahala. Jika ia benar ia mendapat dua pahala dan jika ia salah ia memperoleh satu pahala saja melalui ijtihadnya,. 
Sesuai dalam firman Allah :
                 
 “ Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan ( jika kamu tidak mengetahui,). ( An-Nahl 43 )
 3. Bahwasanya ijtihad tidak bisa di batalkan selama keputusan ini hendak menyalahi nash atau dalil qath’i, kalu menyalahi nash barulah di rubah atau dibatalkan keputusan tersebut. 

 ITTIBA’

 A. Pengertian Ittiba’

 Ittiba dari segi bahasa berarti “ menurut “ atau “ mengikuti “, sedangkan orang yang di ikuti di sebut muttabi. Kalangan Ushuliyin mengemukakan bahwa ittiba adalah mengakui atau menerima semua yang di perintahkan, di larang, atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain “ittiba” di artikan mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataann tersebut. Ittiba’ dapat terbagi menjadi dua bagian yaitu : 

 a. Ittiba’ kepada Allah dan Rasulnya
 b. Ittiba’ pada Alim ulama 
dan mujtahid Ittiba kepada Allah dan Rasulnya wajib sesuai dengan firman Allah Dalam Surat Al-Araf 3,.

        “ Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu “ (Al-Araf : 3 ) 
 Mengenai Ittiba kepada para ulama dan mujtahid terdapat perbedaan. Imam Ahmad bin hambal hanya membolehkan ittiba’ kepada Rasul sedangkan pendapat yang lain menyatakan bahwa boleh Ittiba kepada Ulama yang di kategorikan sebagai “ Warisatul Anbiya “ dengan alasan firman Allah surat ( An-Nahl Ayat 43), : 
                 

“ Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan ( jika kamu tidak mengetahui,)”(Q.S An-Nahl ;43) 

Yang di maksud dengan “ orang- orang yang punya ilmu pengetahuan dalam ayat itu adalah orang orang yang ahli dalam ilmu Al-Qur’an dan Hadits. Serta bukan pengetahuan berdasarkan pengetahuan semata. Karena orang-orang seperti yang di sebut terakhir di khawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan- penyimpangan dulu menafsirkan ayat-ayat Al qur’an untuk itu, kepada orang-orang seperti ini tidak di benarkan berittiba’ kepada nya. Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk berittiba seseorang tidak bisa memecahkan permasalahan kenyataan itu sendiri nya. Ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui islam. Kemudian seandainya jawaban yang di terima dari seorang mujtahid atau utama di rugikan kebenaran nya, maka muttabi’ yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinan nya dalam beramal.

 Dengan kata lain ittiba tidak harus di lakukan kepada beberapa orang mujtahid atau ulama. 
 Contoh : Sebagai contoh untuk menjelaskannya; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan (tidak melakukan) shalat ketika terbit matahari. Maka seorang yang meneladani beliau juga meninggalkan shalat pada waktu itu sesuai dengan ketentuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya Contoh Ittiba yang di larang : Bila seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah tidak pernah disyari’atkan agama dalam hal jenisnya, maka tidak akan diterima. Sebagai contoh: bila seseorang berkurban dengan kuda, maka hal ini tertolak, sebab menyelisihi perintah syariat dalam hal jenis, dimana syar’at Islam memerintahkan harus dari jenis binatang ternak tertentu, yaitu: unta, sapi dan kambing. Adapun seseorang yang memotong kuda dengan niat mensadaqahkan dagingnya maka hal itu diperbolehkan, sebab ia tidak dikatakan berkurban kepada Allah dengan menyembelihnya, hanya menyembelihnya untuk di sedekahkan dagingnya.

 TAQLID 

 A. Pengertian Taqlid

 Sama hal nya dengan istilah yang terdapat dalam ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih taqlid juga berasal dari bahasa arab yang berarti mengulangi, meniru, dan mengikuti. Para ulama ushul memberikan definisi taqlid dengan mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut. 

Dari definisi di atas dua unsur yang perlu di perhatikan dalam pembicaraan taqlid yaitu:
 1. Menerima atau mengikuti suatu perkataan 
 2. Perkataan tersebut tidak di ketahui dasarnya.

 Apakah ada dalam Al qur’an dan hadist tersebut. Muhammad Rasyid Rhidho merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan. Kenyataasn yang ada dalam masyarakat islam. Taqlid menurut beliau adalah mengikuti pendapat orang yang di anggap terhormat dalam masyarakat dan di percaya dalam hukum islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta manfaat mudhoratnya pendapat tersebut.
 Yang di bolehkan bertaqlid ialah orang awam yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syariat, ia boleh mengikuti pendapat orang pandai dan mengamalkannya . 
 Hal ini di dasarkan pada firman Allah Surat An-Nahl 43, : 
          “
 Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui. “ ( Q.S An-Nahl : 43 ). 
 Yang bertanya adalah orang yang tidak tahu tentang sesuatu yang tidak diketahuinya, karena perintah disini dihubungkan dengan ketidak tahuan. 
 Taqlid Yang Diharamkan Para ulama ushul fiqih sepakat melarang taqlid dalam hal : 

1. semata-semata mengikuti tradisi nenek moyang bertentangan dengan alquran dan hadist contohnya : tradisi nenek moyang selama tujuh malam dimakam dengan keyakinan bahwa hal itu akan mengabulkan semua keinginannya, padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman Allah. Qs.Al-ahzab 64 :
 •      •  .
” Sesungguhnya Allah mela'nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka),” (Q.S Al-Ahzab : 64 ) Dan dalam firman Allah Qs.al-baqarah 170 : 
                       
 “ Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? “ ( Q.S. AL- Baqarah : 170 )

 2. Mengikuti orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuannya , keahliannya dan daerahnya itu melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri. 
Hal seperti ini disinggung oleh Allah dalam surat Al-baqarah 165-166 :
  ••                        •    •           •       “
165. Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[106] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). 166. (yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.(Al- Baqarah :165-166 )” 
 3. Mengikuti pendapat seseorang , padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah .
 firman Allah dalam surat At-taubah 31 :
                           “

 Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” ( Q.S AT- Taubah : 31) 

 Contoh : Sehubungan dengan ayat di atas, Adi bin Hatim berkata bahwa ia pernah datang kepada Rasulullah, padahal di lehernya tergantung salib. Lalu Rasulullah berkata kepadanya : Hai Adi, lemparkan salib itu dari lehermu dan jangan kamu pakai lagi. “ ya Rasul kami tidak menjadikan pendeta pendeta sebagai tuhan “ lalu Rasul berkata lagi “ bukan kah kamu tau bahwa mereka menghalalka bagi mu apa yang di haramkan Allah dan mereka mengharamkan atasmu apa yang di halalkan Allah, dan kamu ikut pula mengharamkannya? “ 

Ayat dan hadits di atas mengingatkan agar kita tidak mengikuti sesuatu yang memang sudah jelas salah, tetapi karena ingin menghormati seseorang atau fanatik terhadap suatu golongan atau juga karena mode, lalu di ikuti juga. Hal itu sangat di cela oleh Allah.

 Menurut Al-dahlawy , taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam mengikuti pendapat orang alim , karena belum ditemukan hukum Allah dan rasul berkenaan dengan suatu perbuatan namun seorang yang bertaqlid tersebut harus terus belajar mendalami pengetahuan hukum islam . bila pada suatu saat orang yang bersangkutan menemukan dalil bahwa apa yang ditaqlidnya selama ini bertentangan dengan syariat Allah , ia harus meninggalkan pendapat yang ditaqlidnya tadi.


 Kesimpulan

  Ijtihad” artinya berusaha keras atau bersungguh-sungguh. Sedangkan menurut istilah artinya berusaha sungguh-sungguh untuk merumuskan, memecahkan, dan menetapkan hukum atau suatu masalah yang tidak ditemukan atau belum ada ketetapannya. Baik dalam Al-qur’an maupun hadist dengan menggunakan akal fikiran yang sehat dan jernih. 

  Tidak ada peluang bagi ijtihad untuk mengetahui maksud dari pada salah satu dari keduanya jadi sepanjang nashnya tersebut jelas di tafsirkan dengan siqathnya atau dengan sesuatu penjelasan yang di susulkan oleh syar’i maka tidak ada peluang untuk berijtihad mengenainya.

  Ittiba’ dari segi bahasa berarti “ menurut “ atau “ mengikuti “, sedangkan orang yang di ikuti di sebut muttabi. Kalangan Ushuliyin mengemukakan bahwa ittiba adalah mengakui atau menerima semua yang di perintahkan, di larang, atau dibenarkan oleh Rasulullah.

  Seorang muttabi tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk berittiba seseorang tidak bisa memecahkan permasalahan kenyataan itu sendiri nya. Ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui islam.

  Taqlid berasal dari bahasa arab yang berarti mengulangi, meniru, dan mengikuti. Para ulama ushul memberikan definisi taqlid dengan mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar